Senin, 16 Maret 2009 | 03:09 WIB
Jakarta, Kompas - Kampanye terbuka terkait dengan penyelenggaraan Pemilu 2009 dimulai Senin (16/3) ini. Pada hari pertama, kampanye serentak dilakukan dalam bentuk kampanye damai. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden M Jusuf Kalla berkampanye untuk partai politik pilihan mereka.
Sesuai dengan jadwal yang dikeluarkan Kementerian Sekretaris Negara, Presiden Yudhoyono yang juga Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat akan memulai cuti dan berkampanye hari Selasa besok di Sumatera Utara dan Kalimantan Tengah. Sedangkan Wapres Kalla yang merupakan Ketua Umum Partai Golkar memulai cuti dan berkampanye pada Jumat di DKI Jakarta.
Selain itu, sejumlah menteri juga akan melakukan kampanye untuk kepentingan partainya. Misalnya, Menteri Kehutanan MS Kaban, yang juga Ketua Umum Partai Bulan Bintang, Selasa besok, sudah memulai kampanye di Sumatera Selatan.
Hindari janji muluk
Dari Makassar, sosiolog Universitas Hasanuddin, Tahir Kasnawi, berharap kampanye terbuka yang melibatkan sejumlah pejabat tinggi aktif tidak diwarnai dengan pengumbaran janji muluk-muluk. Janji yang dimaksud berupa pernyataan akan menuntaskan masalah kemiskinan dan pengangguran tanpa konsep yang jelas dan terukur.
”Masyarakat kenyang dengan janji. Jika hal itu sampai terjadi lagi, potensi apatisme politik terbuka lebar. Hal itu tidak hanya mengancam minimnya kepercayaan rakyat pada lembaga legislatif, tetapi juga pada pemimpin pemerintahan,” ujar Tahir.
Tahir menyarankan, pejabat pemerintah yang menjadi juru kampanye dan calon anggota legislatif (caleg) berjanji secara realistis. Misalnya, akan mengawal penggunaan dan alokasi APBD atau APBN untuk masyarakat sesuai dengan program yang dibuat bersama pemerintah.
Ia juga berharap kampanye tidak dinodai ulah petualang politik untuk membangkitkan konflik horizontal dengan memainkan sentimen suku, agama, ras, dan antargolongan. Tahapan kampanye merupakan salah satu bagian awal dari upaya menuju tatanan demokrasi yang esensinya menekankan harmoni di masyarakat.
”Jangan sampai upaya menuju tatanan peradaban yang baik justru dinodai dengan cara tidak baik,” papar Tahir.
Melihat janji politik
Secara terpisah, pengajar Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Airlangga, Surabaya, Airlangga Pribadi Kusman, dan ahli hukum tata negara dari Universitas Sebelas Maret Surakarta, Isharyanto, Minggu, menuturkan, pemilu dan kampanye terbuka hendaknya menjadi momentum bagi rakyat untuk melihat seperti apa janji politik dan kontrak politik caleg dan pejabat pemerintahan. Kontrak politik dari politisi harus dikawal ketat oleh publik agar tidak terjadi pengkhianatan mandat.
Oleh karena itu, para elite politik saat berkampanye hendaknya mengedepankan etika fungsional dengan cara bersimpati terhadap kondisi masyarakat dan bukan berlindung di balik gemerlapan partai politik.
Menurut Isharyanto, dalam berkampanye, caleg hendaknya menjadikan masyarakat sebagai cermin dan menghindari agar kampanye jangan sampai menjadi titik frustrasi antara caleg dan masyarakat.
”Saat ini jumlah caleg mencapai ribuan. Selama ini masyarakat hanya bisa melihat foto yang tidak mencerminkan karakter caleg yang sesungguhnya. Karena itu, para caleg, jangan hanya berlindung dibalik partai, tetapi harus turun langsung dan berhadapan dengan masyarakat, bekerja keras untuk meraih kepercayaan publik,” ujarnya.
Isharyanto berpendapat, pemilu merupakan taruhan karena pemilu bisa menjadi manifes, tetapi juga bisa menjadi titik laten. Pemilu 2009 akan menjadi manifes apabila nanti berjalan spektakuler dan menimbulkan harapan positif bagi masa depan bangsa. Namun, di sisi lain, Pemilu 2009 akan menjadi titik laten apabila di balik kampanye dan ritual pemilu terselip transaksi politik, penyalahgunaan kekuasaan, dan korupsi.
”Jadi bahayanya, jika nanti tindakan-tindakan saat ini di kemudian merugikan demokrasi,” ujarnya.
Airlangga menilai, pemberdayaan terhadap pemilih sangat penting agar masyarakat memiliki kesadaran bahwa suaranya menentukan ke mana arah bangsa nanti. ”Yang penting adalah persoalan memberdayakan dan mendorong kesadaran para pemilih bahwa baik buruknya pemerintahan ke depan sangat dipengaruhi oleh suara mereka,” ujarnya.
Pemantauan terhadap kontrak politik politisi penting dilakukan, terutama terhadap janji caleg terhadap konstituen. Hal ini penting karena pengalaman selama ini, setelah pemilu usai, janji para politisi pun tinggal janji. Kontrak politik malah dikhianati sendiri oleh para politisi.
”Oleh karena itu, calon politisi ketika membangun deal dan janji politik harus konkret dan jangka waktunya harus terukur,” ujarnya lagi.
Dari Maluku, pemuka agama dan aktivis perdamaian mengimbau agar masyarakat mempertahankan kondisi keamanan yang stabil. Masyarakat harus kritis terhadap materi orasi dari caleg dan juru kampanye parpol agar tidak terbawa dalam tema kampanye gelap. Politisi juga harus menghindari kampanye yang saling menjatuhkan lawan.
Abidin Wakano, aktivis perdamaian pada Lembaga Antar Iman Maluku, Sabtu, menilai, selama kampanye terbuka peserta pemilu akan menggunakan simbol identitas untuk penokohan dan penguatan dukungan. Penggunaan simbol primordial tak bisa dihindari di tengah pemilih tradisional. Namun, jangan sampai hal ini membuka konflik di masyarakat. (son/ang/nar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar